Candi Budha yang terletak sekitar 10 Km dari pusat Yogyakarta di Desa Bendan, Kelurahan Tirtamartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, diperkirakan dibangun pada abad ke 8 M ini ditemukan pada awal abad ke 20 dalam keadaan yang sangat rusak. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran bersamaan dengan pembangunan Candi Kalasan karena memang banyak memiliki kemiripan, baik dari segi arsitektur maupun reliefnya. Disamping itu, keterkaitan kedua candi tersebut juga diterangkan dalam Prasasti Kalasan yang diperkirakan dibuat pada tahun 700 Saka atau tahun 778 Masehi, dimana diterangkan bahwa para penasehat keagamaan Wangsa Syailendra menyarankan agar Maharaja Tejapurnama untuk mendirikan bangunan suci tempat memuja Dewi Tara dan sebuah biara untuk pada pendeta Budha. Selanjutnya, untuk pemujaan Dewi Tara dibangunlah Candi Kalasan, sedangkan untuk asrama pendeta Budha dibangunlah Candi Sari.
Pemugaran pertama dilaksanakan antara tahun 1929 sampai 1930, namun menurut Kempers pemugaran tersebut kurang memuaskan karena belum berhasil mengembalikan keutuhan bangunan aslinya. Hal ini disebabkan oleh banyaknya bagian candi yang hilang dan terdapat bagian-bagian bangunan yang sudah rusak termakan usia, terutama yang bukan terbuat dari batu. Disamping itu, Candi Sari yang sekarang hanya sebagian saja dari kumpulan candi yang telah hilang karena diperkirakan dahulu terdapat pagar batu yang mengelilingi candi dan di pintu masuknya dijaga oleh sepasang Arca Dwarapala yang memegang gada dan ular, seperti yang terdapat di depan Wihara Plaosan.
Candi Sari berbentuk persegi panjang, dengan ukuran 17,30 x 10 m, dengan tinggi keseluruhan candi dari permukaan tanah sampai puncak stupa adalah 17 - 18 meter. Gerbang candi dengan lebar kira-kira sepertiga lebar dinding depan dan tinggi dari tinggi dinding candi, sudah tak ada lagi. Yang tersisa hanya bekas tempat bertemunya dinding pintu gerbang dengan dinding depan. Menurut Kempers, candi ini aslinya merupakan bangunan bertingkat dua bahkan tiga. Dahulu lantai atas digunakan untuk menyimpan barang-barang untuk kepentingan keagamaan dan lantai bawah dipergunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti belajar-mengajar, berdiskusi, dan sebagainya. Dari luar telah terlihat bahwa tubuh candi terbagi menjadi dua tingkat, yaitu dengan adanya dinding yang menonjol melintang seperti "sabuk" mengelilingi bagian tengah tubuh candi. Pembagian tersebut diperjelas dengan adanya tiang-tiang rata di sepanjang dinding tingkat bawah dan relung-relung kosong di sepanjang dinding tingkat atas. Relung-relung tersebut tadinya diperkirakan dihiasi dengan arca-arca Budha.
Dinding luar tubuh dipenuhi pahatan arca dan hiasan lain yang sangat indah, jumlah arca secara keseluruhan ada 36 buah yang terdiri dari 8 arca di dinding depan (timur), 8 arca di dinding utara, 8 di dinding selatan, dan 12 di dinding barat (belakang) . ukuran tubuh manusia pada umumnya. Arca – arca tersebut merupakan sepasang arca lelaki dan wanita dalam posisi berdiri memegang teratai. Sementara bagian atap candi berbentuk persegi datar dengan hiasan 3 buah relung di masing-masing sisi. Bingkai relung juga dihiasi dengan pahatan sulur-suluran dan di atas ambang relung juga dihiasi dengan Kalamakara.
Puncak candi berupa deretan stupa, yang terdiri atas sebuah stupa di setiap sudut dan sebuah di pertengahan sisi atap. Ada cerita menarik saat kami mengunjungi Candi Sari karena pada saat kami akan melanjutkan perjalanan Surcan, ada seorang nenek yang menghampiri mobil kami yang meminta uang parkir namun berkata dalam bahasa Jawa “.. njalok K*N**L (red. alat kelamin pria) ..”
sumber wikipediaterjemahanbebas
narasi diedit oleh Adji 'Gendut' dan Herita 'Chitonk'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar