Candi Cetho merupakan candi Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Kerajaan Majapahit yang terletak pada ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut di Dusun Ceto, Dea Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Laporan ilmiah mengenai Candi Cetho pertama kali dibuat oleh ilmuwan Hindia Belanda yang bernama Van de Vlies pada tahun 1842 selanjutnya, penelitian diteruskan oleh A.J. Bernet Kempers. Sementara itu, ekskavasi atau penggalian untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda pada tahun 1928 dan berdasarkan keadaan ketika reruntuhannya mulai diteliti, usai Candi Cetho diperrkirakan tidak jauh dengan usia Candi Sukuh, yaitu sekitar tahun 1437 masehi.
Ketika ditemukan pertama kali, keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada empat belas dataran bertingkat yang memanjang dari Barat (tingkat paling rendah) ke Timur. Struktur Candi Cetho yang berteras – teras diduga merupakan masa kebangkitan kembali agama Hindu dengan kultur aslinya berupa punden berundak. Dugaan itu diperkuat dengan bentuk tubuh pada relief seperti wayang kulit yang mirip dengan penggambaran di Candi Sukuh.
Saat ini tinggal 13 (tigabelas) teras dan pemugaran hanya dilakukan pada 9 (sembilan) teras, namun pemugaran yang dilakukan oleh Humardani (asisten pribadi Soeharto) pada akhir tahun 1970an mengubah banyak sturktur asli candi. Meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan, namun pemugaran tersebut banyak dikritik oleh pakar arkeologi karena pemugaran yang dilakukan tidak didasari dengan studi yang mendalam. Bangunan baru hasil pemugaran yang dilakukan Humardani berupa gapura besar dan megah di muka berbentuk candi bentar dengan 2 (dua) arca penjaga. Aras (teras) pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman, di aras ini terdapat petilasan leluhur Dusun Ceto, Ki Ageng Krincingwesi.
Pada aras ketiga terdapat sebuah tatanan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, matahati atau surya yang banyak diduga sebagai lambang dari Kerajaan Majapahit dan phallus atau alat kelamin laki-laki. Tatanan batu yang berupa tersebut membentang sepanjang 2 meter dan dilengkapi dengan hiasan tindik bertipe ampallang.Adapun dari symbol – symbol tersebut adalah Kura-kura melambangkan penciptaan alam semesta sedangkan Penis/Phallus merupakan simbol penciptaan manusia. Selain itu terdapat pula penggambaran hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam yang dapat dibaca sebagai suryasengkala berangka tahun 1373 Saka, atau 1451 masehi.
Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudhamala, kisah yang sampai saat ini populer di kalangan masyarakat Jawa dan sering digunakan sebagai dasar upacara ruwatan. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap sebetulnya keduanya adalah satu orang) yang diyakini sebagai abdi dan penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.
Laporan ilmiah mengenai Candi Cetho pertama kali dibuat oleh ilmuwan Hindia Belanda yang bernama Van de Vlies pada tahun 1842 selanjutnya, penelitian diteruskan oleh A.J. Bernet Kempers. Sementara itu, ekskavasi atau penggalian untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda pada tahun 1928 dan berdasarkan keadaan ketika reruntuhannya mulai diteliti, usai Candi Cetho diperrkirakan tidak jauh dengan usia Candi Sukuh, yaitu sekitar tahun 1437 masehi.
Ketika ditemukan pertama kali, keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada empat belas dataran bertingkat yang memanjang dari Barat (tingkat paling rendah) ke Timur. Struktur Candi Cetho yang berteras – teras diduga merupakan masa kebangkitan kembali agama Hindu dengan kultur aslinya berupa punden berundak. Dugaan itu diperkuat dengan bentuk tubuh pada relief seperti wayang kulit yang mirip dengan penggambaran di Candi Sukuh.
Saat ini tinggal 13 (tigabelas) teras dan pemugaran hanya dilakukan pada 9 (sembilan) teras, namun pemugaran yang dilakukan oleh Humardani (asisten pribadi Soeharto) pada akhir tahun 1970an mengubah banyak sturktur asli candi. Meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan, namun pemugaran tersebut banyak dikritik oleh pakar arkeologi karena pemugaran yang dilakukan tidak didasari dengan studi yang mendalam. Bangunan baru hasil pemugaran yang dilakukan Humardani berupa gapura besar dan megah di muka berbentuk candi bentar dengan 2 (dua) arca penjaga. Aras (teras) pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman, di aras ini terdapat petilasan leluhur Dusun Ceto, Ki Ageng Krincingwesi.
Pada aras ketiga terdapat sebuah tatanan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, matahati atau surya yang banyak diduga sebagai lambang dari Kerajaan Majapahit dan phallus atau alat kelamin laki-laki. Tatanan batu yang berupa tersebut membentang sepanjang 2 meter dan dilengkapi dengan hiasan tindik bertipe ampallang.Adapun dari symbol – symbol tersebut adalah Kura-kura melambangkan penciptaan alam semesta sedangkan Penis/Phallus merupakan simbol penciptaan manusia. Selain itu terdapat pula penggambaran hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam yang dapat dibaca sebagai suryasengkala berangka tahun 1373 Saka, atau 1451 masehi.
Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudhamala, kisah yang sampai saat ini populer di kalangan masyarakat Jawa dan sering digunakan sebagai dasar upacara ruwatan. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap sebetulnya keduanya adalah satu orang) yang diyakini sebagai abdi dan penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.
Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut "kuntobimo") di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Pemujaan terhadap arca phallus melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.
Selanjutnya, dengan alasan untuk menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi, Bupati Karanganyar, Rina Iriani menempatkan arca Dewi Saraswati yang merupakan sumbangan dari Kabupaten Gianyar, di bagian timur kompleks candi.Sampai saat ini, komplek candi digunakan oleh penduduk setempat yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan dan populer sebagai tempat pertapaan bagi kalangan penganut agama asli Jawa/Kejawen.
referensi ... wikipedia terjemahan bebas
photoes by Adji Gendut & A. Herita DK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar