Kamis, 28 Juli 2011

- KUDA LUMPING

“… Dalam lingkaran berputar – putar
menari – nari tak sadarkan diri
mata terpejam mengunyah beling
mempertahankan hidup yang sulit …”

Itulah sebait syair lagu dari kelompok Swami yang dimotori oleh Kang Iwan Fals dan Mas Sawung Jabo serta alm. WS. Rendra tentang sebuah kesenian tradisional Jawa yang menampilkan sekelompok penari yang menari dengan menggunakan replika kuda yang terbuat dari anyaman atau kepangan bambu yang biasanya dengan cat dan kain yang beraneka warna namun ada juga yang hanya dihias dengan cat berwarna hitam dan putih. Anyaman/kepangan kuda bambu tersebut dikenal dengan “Kuda Lumping” atau “Kuda Kepang”. Sayangnya, tidak satupun catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula kesenian tari Kuda Lumping yang sangat terkenal di Pulau Jawa ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satunya di daerah Temanggung, Jawa Tengah, yang mengatakan bahwa konon di daerah tersebut berdirilah Kerajaan Bantarangin yagn diperintah oleh Prabu Kelana Sewandana yang tertarik dan ingin mempersunting Sekar Kedaton (kembang kerajaan) dari Kerajaan Kediri, Putri Diah Ayu Songgolangit. Untuk itu diperintahkanlah Patih Bujang Ganong untuk berangkat ke Kerajaan Kediri dan melamarkannya Putri Diah Ayu Songgolangit.

Dalam perjalanannya, Patih Bujang Ganong bertemu dengan pasukan dari Kerajaan Alas Roban dibawah pimpinan Patih Singoledro yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu menuju Kerajaan Kediri untuk melamar sang Sekar Kedaton. Pertempuran sengit pun tak terelakan lagi, hingga keduanya mengeluarkan “simpanan” masing – masing. Patih Singoledro mengubah dirinya menjadi “Singo Barong” sedangkan Patih Bujang Ganong mengeluarkan aji sakti “Cemeti Kiai Samandiman” yang didapat dari Prabu Kelama Sewandara dan mengubah dirinya menjadi “Raksasa”. Berkat aji sakti “Cemeti Kiai Samandiman”, Patih Bujang Ganong berhasil mengalahkan Patih dari kerajaan Alas Roban, Singoledro dan dapat meneruskan perjalanannya ke Kerajaan Kediri untuk melamar Putri Diah Ayu Songgolangit. Kepercayaan tersebut yang membuat sebagian orang percaya kalau kesenian tari Kuda Lumping merupakan bagian dari kesenian tari Reog yang berasal dari Ponorogo yang sangat terkenal di dunia dan bahkan sempat diakui sebagai kesenian tradisional Malaysia. Lalu ada pula yang mengatakan bahwa tari kuda lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa kuda lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain pun menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.
Terlepas dari semua asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Saat ini tarian kuda lumping ini tidak lagi hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, namun lebih sering menyuguhkan atraksi dengan kekuatan magis. Hal tersebut karena sang penari kesurupan hingga tak sadarkan diri dan sanggup melakukan hal – hal diluar akal sehat manusia, seperti mengunyah/memakan beling, memakan api (fire eater), menyembu api dan kebal akan deraan pecut. Tarian ini biasanya ditampilkan pada event-event tertentu, seperti menyambut tamu kehormatan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa, sehingga ada sebagian orang yang mengatakan bahwa tarian ini selain mengandung unsur hiburan dan religi, juga mengandung unsur ritual karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya dilakukan di lapangan terbuka.
Namun saying, tarian Kuda Lumping saat ini sulit dijumpai di kota – kota besar di Indonesia, sperti Jakarta karena semakin maraknya pusat – pusat hiburan sehingga nasib seniman Kuda Lumping pun semakin tidak menentu. Untuk itulah banyak yang berharap agar kaum muda dapat lebih menghargai kesenian asli daerahnya dan tidak membiarkan kesenian Kuda Lumping pudar dimakan jaman bagaikan lanjutan syair lagu kelompok Swami.


“… Kuda Lumping nasibnya nungging
cari makan terpontang panting
aku juga dianggap sinting
sebenarnya siapa yang sinting …”


Narasi diedit dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Photos by. Si Pena Tumpul
Photo – photo lain dapat dilihat di :
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.61639164708.67559.579909708&type=1

Tidak ada komentar: