Rabu, 12 Mei 2010

- KISAH SEBUAH KERKHOF LAAN

Museum yang diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tanggal 9 Juli 1977, awalnya merupakan Kerkhof Laan atau makam kuno yang didirikan pada tanggal 28 September 1795 dan dikhususkan bagi warga Belanda terutama pejabat dan tokoh – tokoh penting Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), sedangkan masyarakat umum yang dapat dimakamkan disini adalah yang mampu membayar uang dalam jumlah tertentu. Kerkhof Laan ini didirikan sebagai ganti pemakaman di samping Gereja Nieuwe Hollandse Kerk, sekarang Museum Wayang, yang sudah penuh akibat kondisi Batavia masa itu yang sangat padat dan tidak sehat sehingga banyak warga yang terkena penyakit dan meninggal. Komplek makam juga dikenal dengan sebutan Kebun Jahe Kober ini terbagi menjadi 10 blok mengikuti kontur parit. Nisan yang terdapat disanapun beraneka bentuk, rupa serta bahannya dan dari angka tahun yang tertera di nisan, dapat diketahui tahun wafatnya yaitu antara tahun 1800 sampai dengan 1900an. Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, makam ini digunakan oleh masyarakat umum terutama masyarakat yang beragama Kristen dan Katholik.
Pada tahun 1975 pemakaman ini ditutup untuk umum, selanjutnya dilakukan pemugaran dan penataan kembali terhadap prasasti – prasasti atau nisan – nisan yang terpilih untuk dijadikan koleksi museum.
Nisan – nisan yang terbuat dari marmer, batu andesit bahkan besi tersebut merupakan hasil karya yang sangat luar biasa dari para perancang, pelukis dan pemahat pada masa itu. Nisan – nisan tersebut juga merupakan wujud ungkapan perasaan hati seseorang saat ditinggalkan oleh orang yang dikasihinya untuk menghadap Sang Khalik. Hal tersebut tergambar dari motif dan pahatan pada prasasti – prasasti yang ada.

Di salah satu blok Kerkhof Laan, terdapat sebuah monument yang menggambarkan pelaksanaan hukuman mati yang sadis terhadap Pieter Erberveld bersama dengan pengikutnya. Menurut Adolf Heukeun (seorang pengamat sejarah Batavia) Pieter Erberveld adalah seorang peranakan Jerman - Siam karena ayahnya berasal dari kota Elberfeld, Jerman (sekarang menjadi bagian kota Wuppertal di negara bagian Nordrhein-Westphalen) sedangkan ibunya adalah seorang wanita Thailand. Pieter Erberveld banyak berhubungan dengan masyarakat lokal seputar Batavia, bahkan konon putra – putri Suropati yang terus memerangi VOC di Jawa Timur. Dalam laporan resmi VOC disebutkan, bahwa Pieter Erberveld ingin menjadi kepala Kota Batavia sedangkan temannya, Raden Kartadria ingin menjabat patih daerah luar, untuk itu mereka berencana membunuh semua penduduk Belanda di Batavia pada pesta malam tahun baru 1722. Namun seorang budak belian yang pernah diperlakukan sewenang-wenang membeberkan rencana mereka kepada Gubernur Jenderal, sehingga 3 (tiga) hari menjelang rencana pembunuhan itu dilakukan, Pieter Erberveld dan pengikutnya ditangkap saat melakukan pertemuan rahasia di rumah Pieter Erberveld. Pada tanggal 22 April 1722 dilaksanakanlah hukum mati terhadap Pieter Erberveld bersama dengan pengikutnya. Hukuman mati terhadap Pieter Erberveld tergolong Sadis, bahkan digolongan sebagai salah satu sejarah kelam Batavia, karena dalam sebuah laporan disebutkan tangan dan kaki Pieter Erberveld masing-masing dihubungkan dengan empat kuda yang menghadap keempat penjuru. Dalam sekali sentak keempat kuda itu berlarian berlainan arah, seiring dengan terbelahnya tubuh Pieter jadi empat bagian. Hukuman mati tersebut dilaksanakan di lapangan sebelah selatan Benteng Batavia, yaitu sekitar satu kilo meter dari Stasiun Kereta Api Jakarta Kota, berdekatan dengan Gereja Sion dan sebagai peringatan kepada masyarakat agar jangan mencoba melawan VOC, di tempat eksekusi dibangunlah monumen berukuran 1 x 2 meter yang di atasnya diletakan tengkorak Pieter Erberveld. Pada monumen itu tertera sembilan baris tulisan dalam bahasa Belanda dengan terjemahan dalam bahasa Jawa Kuno sebanyak delapan baris di bawahnya. Jika diterjemahkan, tulisan tersebut berbunyi sebagai berikut : Catatan dari peringatan (yang) menjijikkan pada si jahil terhadap negara yang telah dihukum - Pieter Erberveld. Dilarang orang mendirikan rumah, gedung, atau memasang papan kayu, demikian pula bercocok tanam, ditempat ini sekarang sampai selama-lamanya. Saat ini, monumen ladang pembantaian yang pernah menjadi salah satu landmark Kota Jakarta telah berubah fungsi menjadi kantor dan showroom PT Toyota Astra (inilah salah satu contoh betapa tidak pedulinya bangsa tercinta ini akan kekayaan sejarahnya).
Selain itu, masih banyak nisan dari tokoh – tokoh penting lainnya yang menjadi koleksi Museum Prasasti, antara lain Dr. HF Roll, seorang dokter Belanda yang berpikiran maju. Dr. HF Roll lah yang mengusulkan pendidikan kedokteran pribumi harus sama dengan pendidikan dokter Belanda. Dr. HF Roll juga dikenal sebagai pendiri STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) atau Sekolah kedokteran zaman Belanda yang saat ini dikenal sebagai kedokteran Universitas Indonesia. Disamping itu, Dr. HF Roll juga pernah menjabat sebagai direktur STOVIA. Makam Dr. HF Roll terletak tidak jauh dari monumen Pieter Erberveld dan sangat mudah dikenali karena nisannya berbentuk sebuah buku.
Tak jauh dari makam Dr. HF Roll, terdapat sebuah rumah tua mungil milik keluarga AJW van Delben dimana dulu pernah ditemukan mummy tersebut di dalamnya, karena konon rumah mungil tersebut dulu digunakan oleh keluarga van Delben sebagai tempat penyimpanan mummy. Namun tak ada yang tahu dimana mummy tersebut saat ini berada (salah satu contoh lagi dari ketidak pedulian bangsa tercinta ini akan kekayaan budayanya – red).
Di sini ini juga terdapat sebuah makam yang menjadi legenda bagi masyarakat Indonesia, yaitu makam Kapiten Jas. Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang berziarah ke makam tersebut dengan harapan permohonan mereka dapat terkabul, terutama mengenai masalah kesuburan. Padahal tidak ada yang mengetahui secara pasti siapakah Kapitan Jas tersebut..? Apakah Kapiten Jas benar – benar ada atau hanya sebuah legenda...? Nama Kapiten Jas diduga ada hubungannya dengan Jassen Kerk atau gereja Jassen (gereja Portugis) yang terletak diluar kota lama yang karena kondisi Batavia yang sangat buruk sebagaimana telah diungkapkan di atas, sehingga halaman gereja tidak lagi dapat menampung pemakaman orang – orang yang telah meninggal sehingga banyak jenasah yang dimakamkan di halaman gereja Jassen. Tanah tersebut kemudian dinamakan “Tanah Kapiten Jas”. Pada abad ke-18 tanah Kapiten Jas ditutup, lalu pada tahun 1828 pemakaman Kapiten Jas ini dipindahkan ke pemakaman baru di tanah Abang.
Di blok lain, terdapat nisan Dr. Jan Laurens Andries Brandes, seorang arkeolog Belanda yang menguasai sastra Jawa Kuno. Dr. Jan Laurens Andries Brandes banyak mengungkap sejarah Indonesia, Dr. Jan Laurens Andries Brandeslah yang menemukan Kitab Negarakertagama pada 1894, saat pasukannya yang lain sibuk meraup harta karun Raja Lombok dalam sebuah penyerbuan di Cakranegara, pusat kerajaan Hindu Lombok dan di tangannya berhasil diungkap/diterjemahkan kitab – kitab kuno, dari Kitab Pararaton, hingga naskah raja – raja Tumapel sampai Majapahit. Nisan Dr. JL. Andies Brandespun berbentuk unik, karena sekilas berbentuk seperti Lingga dengan ukiran antefix seperti yang dapat ditemukan pada hiasan beberapa candi di Jogja.
Di komplek makam ini juga terdapat makam dari MGR. Adami Carolus Claessens, seorang pastur agama Katholik yang datang ke Hindia Belanda pada tahun 1847 dan pada tahun 1874 diangkat sebagai pastur kepala di Batavia. Satu tahun kemudian, pastur MGR. Adami Carolus Claessens diangkat sebagai Uskup Batavia sampai tahun 1893 dan selama kepemimpinannya, perkembangan agama Katholik cukup pesat di pulau Jawa terutama di daerah Cirebon, Bogor, Magelang, Madiun dan Malang. Salah satu jasa pastur MGR. Adami Carolus Claessens adalah membangun kembali Gereja Kathedral yang roboh pada tahun 1890.
Di sini juga terdapat makam dari seorang Panglima Tinggi Militer Hindia Belanda yang gugur saat melakukan penyerangan ke Aceh. Panglima Tinggi Militer itu adalah JHR Kohler. JHR Kohler tewas tertembak pada tahun 1879 saat melakukan penyerangan ke sebuah Masjid di Kerajaan Aceh.
Tidak hanya tokoh – tokoh Belanda saja yang di makamkan di komplek makam Kebun Jahe Kober ini, salah seorang putra terbaik Indonesia pun pernah dimakamkan disini, dia adalah Soe Hok Gie. Seorang aktivis kemahasiswaan yang berpengaruh besar terhadap tumbangnya Presiden Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengkritik tajam rejim Orde Baru. Soe Hok Gie juga dikenal sebagai salah seorang pendiri Mapala Universitas Indonesia yang salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Soe Hok Gie meninggal di Gunung Semeru pada tanggal 14 Desember 1969 atau tepat 3 (tiga) hari sebelum ulang tahunnya yang ke 27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Sebelum berangkat, tepatnya tanggal 8 Desember 1969, Soe Hok Gie sempat menuliskan catatannya “…Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol – ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat ...”. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut akibat menghirup asap beracun. Pada tanggal 24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Nisan Soe Hok Gie menggambarkan perjuangannya mempertahankan hidup saat berada di puncak Semeru, nisan itu bertuliskan “… Nobody Knows The Troubles I See .. Nobody Knows My Sorrow …”. Pada tahun 1975, saat Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta saat itu, melakukan pembongkaran dan pemugaran Makam Kebun Jahe Kober, jenasah Soe Hok Gie harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Soe Hok Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
Orang Indonesia lain yang dimakamkan di makam tua ini adalah Ibu Riboet atau yang lebih dikenal dengan sebutan Miss Riboet, seorang Penari dan Penyanyi dari kelompok seni Orion Junior. Karier Miss Riboet semakin menanjak setelah dia memerankan seorang perampok wanita dalam drama yang berjudul Juanita de Vega karya Antoimette de Zema. Karier Miss Riboet berakhir bersama dengan runtuhnya group seni Orion yang didirikan oleh Tio Tek Djien pada tahun 1934 karena dua orang penulis naskah mereka Njoo Cheong Seng dan Fifi Young pindah ke kelompok sandiwara lain di Surabaya yang merupakan saingan utama Orion. Nisan Miss Riboet menggambarkan keharmonisan keluarga Miss Riboet dan Tio Tak Djien, yang berbunyi “...atas dasar mutlak TJINTA SUTJI MURNI selama hampir 50 taon telah HIDUP RUKUN-BERUNTUNG-BER-REDJEKI dalam PERSAHABATAN suami/estri...” dan di bagian bawah nisan mereka tertulis kata – kata yang sangat mendalam, yaitu “...KASIH TUHAN jg MAHA ESA Dasar Mutlak bagi PENGHIDUPAN dari SEGALA yg HIDUP & INGIN HIDUP...”.
Selain nisan, kereta jenazah yang digunakan pada zaman Belanda juga merupakan koleksi dari Museum Prasasti. Sementara di halaman belakang kompleks, terdapat lonceng perunggu bertiang besi dengan tinggi sekitar 4 (empat) meter yang dulu hanya dibunyikan untuk memberi tanda kepada petugas makam tentang adanya kematian dan jika lonceng dibunyikan untuk kedua kalinya maka berarti jenazah sudah akan diturunkan dari perahu sehingga petugas makam harus mempersiapkan diri untuk upacara pemakaman. Sementara itu, disalah satu aula yang tertutup rapat terdapat 2 (dua) peti mati yang digunakan oleh proklamator kita, Soekarno – Hatta.
Demikianlah kisah dari sebuah Kerkhof Laan di dunia yang berada di Indonesia, Museum Taman Prasati yang terletak di Jalan Tanah Abang 1 Jakarta Pusat.

Referensi - Wikipedia terjemahan bebas
Photo - photo by
- Nugroho Dewa Adji
- Antonia Herita Ratna Dri Kuntari


Tidak ada komentar: